A. Pendahuluan
Persoalan dikotomi adalah persoalan
yang selalu menarik untuk dipersoalkan yaitu pemisahan antara ilmu dan agama.
Menurut Dr. Mochtar Naim dikotomi pendidikan adalah penyebab utama dari
kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya.[1]
Menjadi hal yang klasik dan menjadi
perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang
masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-‘ulum al-diniyyah atau religious
sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang
mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih
bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah
dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan
pendidikan.[2]
Dan tragisnya paham dikotomi ilmu ini bertahan sampai pada era masa kini.
Persolaan
dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi dan
epistimologi keilmuan barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal) dan
menyingkirkan peran Agama didalamnya, memang bagian yang tak bisa
terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga
saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka. Para
pemikir post moderisme memiliki argument-argumen yang lebih radikal.[3]
B. Sebab Munculnya Dikotomi Ilmu
Sebab
munculnya dikotomi (dualisme) ilmu yang dapat di analisis diantaranya:
Pertama, dikotomi ilmu merupakan warisan dari
zaman kolonial belanda, Karena anak-anak yang bisa masuk sekolah belanda
sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan
saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah atau Pondok Pesantren,[4]
yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan
pemerintah kolonial belanda.
Sistem pendidikan masa Kolonial
Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik
etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi
pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain,
pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada
pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak
Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang
diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah
tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah
kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari
kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda
sendiri. Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas
sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi
batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri
dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu
saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO
dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.
Kedua, ketika
hancurnya
sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan Islam karena mengamuknya
tentara mongol yang meludeskan kota bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat
islam di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan.[5]
Maka dengan berakhirnya pemerintahan abbasiyah di Baghdad (1258 M) ikut
mengakhiri kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para
filsuf yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan dimasa-masa selanjutnya. Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan
kemunduran pendidikan yang ditandai kemunduran intelektual.[6] Dan pada masa itu pula perkembangan
umat islam mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun
1250-1800 M) yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini,[7]
Ketiga, Krisis konseptual, atau terjadinya
pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences),
yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah/ religious
sciences).[8]Sehingga
hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi
juga hal ini menyebabkan terjadinya gap pada bidang kelembagaan, yang
selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan. Hilangnya
budaya berfikir rasional seperti ini dikalangan umat islam, dalam sejarah islam
kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir
umat islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu
mendasarkan diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran
sufistik, yang memperhatikan aspek batiniah dan pola pemikiran yang rasional
saja, kemudian pola pemikiran empiris rasional yang mementingkan akal pikiran.[9]
Keempat, Bila kita menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut
Azyumardi Azra dalam Munir, dikotomi keilmuan bermula dari historical
accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan)
yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat
serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[10]
Sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu
‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu
kifayah atau kewajiban kolektif.[11]
Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini
tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).
Kelima,
krisis kelembagaan. Adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan
pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah
ilmu-ilmu umum.[12] Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari
segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh
berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan
prasarana.
Keenam, dikotomi
dalam pendidikan islam timbul akibat dari faktor perkembangan
pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk
berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.[13]
Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama
dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu wilyah kajian
filsafat yang di sebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge).[14]
Seperti contoh ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother all of sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu,
mislakan ilmu pendidikan akan pecah menjadi cabang psikologi pendidikan,
teknologi pendidikan, dst. Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan.
Ketujuh, faktor internal kelembagaan
pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan
akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang
dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[15].
C. Akibat Dikotomi Ilmu
Dampak
dari dikotomi ilmu sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang
menjadi salah satu yang faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas
tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak
sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak
mampu menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga
menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas.
sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada
dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri.[16]
di sinilah terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu
menguasi ranah Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum.
Realitas
dikotomi ilmu tersebut juga terjadi pada instansi sekolah yaitu terjadinya
pemisahan sekolah umum dan agama.[17]
Dalam muatan kurikulum misalkan, Sekolah umum dominan ilmu yang diajarkan hanya
ilmu umum (science) dan tidak digabungkan dan diarahkan pada nilai-nilai agama.
Sehingga metode tersebut akan tergiring pada pola pikir yang sekuler dan
berdampak pada degradasi moral, akhirnya memicu pada rusaknya generasi Islam,
disebabkan pondasi ilmu agama yang lemah. Pada akhirnya, agama dianggap tidak
penting dalam persoalan ilmu dan dunia. Dari sinilah yang kemudian banyak
umat Islam tergiring pada pemahaman sekuler. Karena dari sejak sekolah sampai
perguruan tinggi, konsep ini terus dipraktekkan secara sadar atau tidak dapat
mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir ummat. Samsul Nizar menambhakan disatu
pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari
nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam
masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara
teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu
jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali
tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[18]
Selain
itu, akibat (peng)dikotomian ilmu sangatlah terkait dengan masalah
pendikotomian pendidikan (kelembagaan).[19] Pandangan beberapa pejabat yang
menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam
mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap
semula yaitu berdiri di kutub yang berbeda.
Akibat
lain dari dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, adalah Munculnya
ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam di mana selama ini, lembaga-lembaga
semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan
Islam dengan corak tafaqquh fil al-din yang menganggap persoalan mu’amalah
bukan garapan mereka. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan
memasukan kurikulum pendidikan agama ke dalam lembaga umum mengakibatkan
terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya untuk mencapai tujuan
sistem pendidikan.
Marwan
Saridjo juga menambahkan Sumber
masukan sekolah agama dan perguruan tinggi Agama Islam rata-rata ber IQ
rendah, maka mutu tamatannya adalah tergolong kelas dua.[20]hal
ini menjadi sangat prihatin terhadap perkembangan dunia keislaman khususnya di
Indonesia.
D. Meretas Dikotomi Ilmu
Secara normative konseptual, dalam
Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu.[21]Jika
kita menoleh pegangan Islam yakni Al-quran maupun Hadits kita tidak menemukan
baik secara tersirat terlebih lagi tersurat menemukan dalil menegenai
dikotomi ilmu. Justru sebaliknya Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang
ilmu. Allah berfirman: “ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”
(QS. Al-Mujadalah [58]: 11).[22]
Nabi Saw juga bersabda: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim (lelaki
maupun perempuan)”. Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung
tinggi keutamaan ilmu.
Kemudian dengan dikeluarkannya surat
keputusan Menteri Pendidikan, Mentri Agama dan Mendagri tentang peningkatan
mutu pendidikan madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi
pendidikan di Indonesia walaupun secara kelembagaan berjalan terus.[23]
Akan tetapi SKB tiga mentri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang
hingga kini tetap menjadi-jadi.
Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak
ada pemisahan yang sangat esensial antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu
umum”. Hal ini dapat kita lihat misalnya banyak intelektual muslim seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn sina, sampai Al-Ghazali, dan Mulla Shadra dalam
berbagai disiplin ilmunya dan perspektif inteklektualnya masing-masing yang
dikembangkan dalam kemajuan Islam memang mengandung hieraraki tertentu, tetapi
pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha
Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu.[24]
Hal ini pula terbukti dan menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim
berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non
muslim kedalam ilmu pengetahuan Islam. Kita lihat misalnya salah seorang murid
Imam Malik, asy-Syafi’I (150-204 H) menyusun satu metodologi hukum yang selain
bisa mempertemukan kedua kubu.[25]Sehingga
pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir bisa
diredam. Dasar-dasar pemikiran Imam Syafi’i, yang oleh Fakhr ad-Din ar-Razi
dibandingkan dengna posisi Aristoteles dalam biadang filsafat. Kalau
Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem filsfat dengan metodologi mantiqnya
(logika), demikian asy-Syafi’i dianggap merumuskan cara-cara berpikir dalam
agama dengan metodologi ushul fiqhnya seperti tertuang dalam karyanya, ar-Risalah[26].
Artinya ini menandakan dalam pembentukan dasar-dasar hukum Islam (ushul
fiqh) sangat menyentuh tradisi filsafat.
Selain asy-Syafi’I kita kenal nama
Al-Farabi, yang melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang Hierarki
ilmu) memainkan pengaruh lebih luas.[27]
Tokoh-tokoh lain yang mampu dalam mengintegrasikan ilmu adalah Ibn Sina, selain
ahli dalaam bidang Kedokteran, Filsafat, Psikologi, dan music, beliau juga
seorang ulama. Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli matematika, Al-Ghazali,
walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya
beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang diketahuinya, mulai dari ilmu
Fiqh, Kalam, Falsafah, hingga Tasawuf. Begitu pula Ibn Rusyd, seorang faqih
yang mampu menghasilkan karyanya Bidayat Al-Mujtahid yang mampu
mengsinergikan Filsafat dan ilmu Fiqh.[28]
Ibn Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum
opus-nya Al-Mukaddimah, yang samapai sekarang banyak ahli yang
mengkajinya baik dari dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.[29]
Syeh
Naquib Al-Attas menawarkan gagasan konsep yang perlu dilakukan untuk
menyelesaikan problem tersebut yaitu dengan cara islamisasi ilmu, terutama ilmu
pengetahuan kotemporer dan modern karena ilmu-ilmu kontemporer dan modern telah
mengalami sekularisasi dengan peradaban Barat. Metode pengkajian ilmu di
Barat bergantung sepenuhnya kepada kaidah empiris, rasional dan materialistik.
Perolehan ilmu melalui wahyu dan kitab suci diabaikan dan dipandang rendah.
Ilmu-ilmu di Barat tidak berlandaskan nilai-nilai transenden dan juga tidak
berkaitan dengan kepercayaan agama. Ini sangat berlawanan dari worldview Islam.[30]
Melihat dampak negative dari
dikotomi ilmu maka menurut Andi Muhammad Idris dalam catatannya menyampaikan
hal-hal yang harus dilakukan dalam mengintegrasi ilmu:[31]
- Pemahaman atau paradigma masyarakat tentang pemisahan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences) dapat dipatahkan dengan cara bahwa pemisahan (pengdikotomian ini) hanyalah sebuah wujud “historical accidetn (kesalahan sejarah)” proses ideologisasi penyebaran keIslaman.[32]
- Mampu menghasilkan pendidikan yang mensinegrikan dua ilmu ini.
- Para ahli (praktisi) pendidikan mampu mencontohi atau setidaknya menjadikan pelajaran bahwa intelektual-intelektual muslim terdahulu sebut saja misalnya asy- Syafi’I yang mampu mensinegrikan ilmu ushul fiqh dan filsafat Aristoteles dan masih banyak pemikir-pemikir muslim lainnya yang menorehkan sejarah kebangkitan.
- Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. [33]
- UIN dalam hal ini universitas yang berlabelkan Islam, mampu menjwab tantangan zaman, yang selama ini mempunyai keinginan keras dalam menintegrasi dua keilmua ini.
Salah satu contoh kehadiran UIN Malang
sebagai perguruan tinggi yang berada di bawah pembinaan Departemen agama.
Menurut Prof. Imam Suprayogo UIN sejak awal ingin memposisikan diri di jajaran
paling depan untuk mempelopori menjawab persoalan yang dirasakan oleh ummat
Islam, sehubungan dengan itu langkah-langkah yang kami lakukan adalah membangun
format bangunan keilmuan (body knowledge) yang bersifat inegratif yang
tidak membedakan ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini kami lakukan atas dasar
pemahaman bahwa sesungguhnya al-Quran dan alhadist bukan sebagai petunjuk ritual
dan spiritual belaka, melainkan memuat aspek-aspek kehidupan yang bersifat
global.[34]
Lebih lanjut untuk mengintegrasikan konsep tersebut Prof. Imam menambahkan
dengan membangun konsep baru yaitu integrasi antara tradisi universitas
dan ma’had Al-‘Aly atau pesantren
tinggi. Selama ini perguruan tinggi dipercaya memiliki keunggulan untu
membangun sosok manusia yang memiliki kekuatan intelektual dan kematangan
professional, sedangkan institusi pendidikan ma’had al-‘Aly diyakini mampu membangun ssok manusia yang
menyandang kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.[35]
Hal ini yang sesuai dengan visi dan misi
UIN MALIKI Malang.
Struktur keilmuan dikotomik yang
seharusnya di rubah menurut Prof. Imam suprayogo adalah tidak memisahkan cabang
ilmu agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.[36] Sturktur bangunan keilmuan yang integrative
adalah antara kajian yang bersumber dari ayat-ayat Qouliyah (Al-Quran-hadist)
dan ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, Eksperimen dan penalaran logis).[37]
Menurut Harun Nasution, Rektor IAIN
Jakarta pada waktu itu, merespon intruksi Sekitar Masalah Pengembangan IAIN
menjadi UIN (21 Maret 1996). Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak
terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. [38]
Oleh karena itu keikutsertaan
Departemen Agama dalam menangani sekolah-sekolah agama sangat diperlukan. Sebab
kalau tidak sekolah-sekolah akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri.
Dengan tugas dan fungsinya dibidang pendidikann, Departemen agama telah
mengemban konsep konpergensi yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam
kurikulum sekolah agama.[39]
E. Penutup
Problem
dikotomi ilmu yang melanda pendidikan Indonesia dirasa menjadi akar
perkembangan bidang keilmuan khususnya dalam ilmu agama, yang kurang memperhatikan
ilmu terapan hasil observasi penelitian atau ilmu pengetahuan teknologi. Namun
demikian adanya dikotomi ilmu juga mengancam system pendidikan di Indonesia
yang berbasis ilmu sains, generasi yang berada pada naungan pendidikan ini akan
banyak di jejali ilmu ilmu teknologi yang kering akan nilai-nilai agama
sehingga menyebabkan degadrasi moral pada generasi bangsa. Sebagian penyebab
utama timbulnya dikotomi ilmu antara lain serangan morol yang menghancurkan
kota bagdad sehingga bnyak ilmuan yang terbunuh dan buku-buku hasil karya
ilmuan islam saat itu di hancurkan, sehingga jejak ilmu yang terintegrasi
terhapus oleh sejarah tersebut, kemudian kondisi pendidikan ketika Indonesia di
jajah Belanda dengan mewariskan system
pendidikan yang membedakan antara pendidikan dari Belanda untuk anak-anak
Belanda dan anak-anak kaum bangsawan dengan pendidikan pesantren bagi rakyat
jelata. Dampak dikotomi ilmu yang terasa sampai saat ini perlu diretas
diantaranya dengan lahirnya UIN yang berusaha mengintegrasikan ilmu umum dan
agama menjadi satu bingkai keilmuan yang sesuai dengan kata ‘ilm dalam Al-Quran yang tidak membedakan
cabang dan jenis ilmu.
F. Daftar Rujukan
Arif,Mahmud.Pendidikan
Islam Transformatif . 2008Cet. I: Yogyakarta:
LKIS
Assegaf,Abd.
Rahman.Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif,
2005.cet.I:Yogyakarta:Pustaka pelajar,)
Azra,Azyurmardi.Paradigma
Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan
Demokratisasi 2002 Cet. I: Jakarta: Buku Kompas
Baso,Ahmad.NU
Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme
Islam
dan Fundamentalisme Neo-Liberal . 2006Jakarta:
Erlangga
Mulkhan,Abdul
Munir.Religius Iptek. 1998. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Muliawan,Jasa
Ungguh.Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan
Islam
2005. Cet. I: Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Musthofa,
A. Filsafat
islam. 2007.Bandung: CV.Pustaka Setia
[1] http://udhiexz.wordpress.com/tag/dikotomi-di-indonesia/
(Diakses pada tgl 26 September 2009)
[2] Azyurmardi Azra, Paradigma
Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan Demokratisasi 2002 Cet. I: Jakarta: Buku Kompas, hal.
101.
[3] Reza A.A Wattimena. Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar.
2008. Jakarta:Grasindo.hal.235
[4] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan
Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali
dikotomi
Ilmu dan Pendidikan Islam
2005. Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 206
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: menelusuri Jejak
Pendidikan Era Rasulullah SampaiIndonesia.2008 Jakarta: Kencana.hal.
230
[6] Suwito, Sejarah Sosial pendidikan Islam.2005.Jakarta:kencana.hal.273
[7] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar
dalam buku Pendidikan Islam Integratif, 2005.
cet.I:Yogyakarta:Pustaka pelajar,) hal.31
[8] Azyurmardi Azra, op,cit,hal.,
h. 114
[9] Samsul Nizar., Op. cit., h.
233-234.
[10] Abdul Munir Mulkhan, Religius
Iptek. 1998. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.hal.87
[11] Abdul Munir Mulkhan, op.
cit., 115
[12] Dualism system pendidikan agama
yang diwakili oleh madrasah dan pesantren dengan
menambahkan
pendidikan umum. Ibid., h. 116-117.
[13]Abd. Rahman Assegaf, Op,cit.
hal. vii
[15] Ibid.hal. 69
[18] Samsul Nizar, op,cit.hal. 230
[19] Lembaga pendidikan di Indonesia
ada yang berada di bawah naungan Depag dan Diknas.
Jasa
ungguh Muliawan. Op, cit.hal. 20
[20] Marwan Saridjo, Bunga Rampai
Pendidikan Agama Islam, 1999Cet. I; Jakarta: CV. Amisco, hal.3
[21] Abd. Rahman Assegaf. Op, cit.hal 12
[22] Al-Quran dan Terjemahnya, Kudus:
Menara Kudus.hal
[23] Pada sekitar pertengahan decade
tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai ditujukan padapembinaan madarsah
secara lebih sistematis, misalnya, dengan lahirnya kurikulum 1973 dan SKB 3
Menteri pada 24 Maret 1975 yang mengaskan bahwa kedudukan madarasah sejajar
dengan sekolah formal dapat dilihat selengkapnya. Baca selengkapnya,
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif . 2008Cet. I: Yogyakarta:
LKIS, hal. 205.
[24] A Musthofa, Filsafat islam. 2007.Bandung: CV.Pustaka Setia.hal244
[25] Ahmad Baso, NU Studies:
Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme
Neo-Liberal . 2006Jakarta: Erlangga, h.135.
[26] A Musthofa. Op,cit , hal
234
[27] Ibid., hal.112.
[28] Ibid.hal.232
[29] Oleh Yuliyanto http://blog.unila.ac.id/young/tokoh-sosiologi/ibnu-khaldun. (diakses tanggal
30.10-2010)
[32] Sebagai contoh mengenai istilah “agama Islam” disini
harus dipahami sebagai objek pembelajaran yang kita kenal dengan
sebutan”ilmu”. Pendidikan agama Islam berarti proses belajar mengajar
tentang “ilmu agama Islam”.Ilmu ialah seluruh kesatuan ide yang mengacu ke
objek (atau alam obejek) yang sam dan terkait secara logis. karena itu
koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Sedangkan agama seperti telah
disebutkan;–adalah “kepercayaan” dan “cara hidup”. Agama Islam menunjuk pada
nama salah satu agama yang ada di dunia. Ilmu agama Islam dapat diartikan
sebagai cabang ilmu yang mempelajari kepercayaan (imam/tauhid) dan cara hidup
(yang mengandung unsure-unsur ideology, etika sosial. dan budaya) orang Islam.
Oada akhirnya, kita dapat mendefenisikan penegertian pendidikan agama Islam
(PAI) adaalh proses belajar-mengajar tentang kepercayaan dan cara hidup orang/
masyrakat Islam. Berdasarkan alasan tersebut, istilah “pendidikan agama Islam”
lebih tepat dipahami sebagi salh satu objek studi atau cabang ilmu pengetahuan
yang diajarkan lembaga pendidikan. Baca Lselengkapnya mengenai hal ini Ungguh
Muliawan, Pendidikan Islam…., op. cit., hal. 227-228.
[33] istilah “pendidikan agama Islam” lebih tepat dipahami
sebagi salah satu objek studi atau cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan
lembaga pendidikan. Baca selengkapnya mengenai hal ini Ungguh Muliawan, Pendidikan
Islam…., op. cit., h. 227-228.
[34] Sambutan prof. Imam Supryogo rektor
UIN Malang dalam acara peresmian nama UIN Malang oleh presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, 27 Januari 2009
[35] Ibid,
[36] Dalam lampiran catatan
laporan peresmian Penggunaan Gedung UIN
Malang oleh Rektor UIN Malang Prof. Imam Suprayogo, 27 Januari 2009. hal.19
[37] Penjelasan dari table struktur
keilmuan oleh Prof. Imam Suprayogo
[39] http://udhiexz.wordpress.com/tag/dikotomi-di-indonesia/
(di akses pada tgl 26-11-2009)