Minggu, 06 Januari 2013

MERETAS DIKOTOMI ILMU


A.    Pendahuluan
Persoalan dikotomi adalah persoalan yang selalu menarik untuk dipersoalkan yaitu pemisahan antara ilmu dan agama. Menurut Dr. Mochtar Naim dikotomi pendidikan adalah penyebab utama dari kesenjangan pendidikan di Indonesia dengan segala akibat yang ditimbulkannya.[1]
Menjadi hal yang klasik dan menjadi perdebatan umum dalam dikotomi ilmu dalam Islam hal ini dapat kita lihat orang masih membedakan “ilmu-ilmu agama” (al-‘ulum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences). Dikotomi yang mulai muncul dan mapan sejak abad pertengahan sejarah Islam ternyata masih bertahan di kalangan para pemikir dan praktisi pendidikan di banyak wilayah dunia muslim termasuk Indonesia baik pada tingkat konsepsi maupun kelembagaan pendidikan.[2] Dan tragisnya paham dikotomi ilmu ini bertahan sampai pada era masa kini.
Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi dan  epistimologi keilmuan barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal) dan menyingkirkan peran Agama didalamnya, memang  bagian yang tak bisa terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka. Para pemikir post moderisme memiliki argument-argumen yang lebih radikal.[3]

B.     Sebab Munculnya Dikotomi Ilmu
Sebab munculnya dikotomi (dualisme) ilmu yang dapat di analisis diantaranya:
Pertama, dikotomi ilmu merupakan warisan dari zaman kolonial belanda, Karena anak-anak yang bisa masuk sekolah belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah atau Pondok Pesantren,[4] yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial belanda.
Sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda sendiri. Betapa sulitnya kaum pribumi untuk menaiki tangga mobilitas sosial. Hambatan sosial yang berupa latar keningratan dan kebangsawan menjadi batu sandungan yang berat bagi anak bangsa yang ingin memperbaiki nasib diri dan bangsa. Bagi mereka yang tak sempat mengenyam bangku AMS dan HBS, tentu saja lebih memilih memasuki jenjang pendidikan guru yang setingkat dengan MULO dan AMS sendiri namun dengan kualitas keilmuan dan gengsi di bawahnya.
Kedua, ketika hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan Islam karena mengamuknya tentara mongol yang meludeskan kota bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat islam di  Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan.[5] Maka dengan berakhirnya pemerintahan abbasiyah di Baghdad (1258 M) ikut mengakhiri kejayaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang dirintis oleh para filsuf yang telah memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dimasa-masa selanjutnya. Masa kemunduran ini dikonotasikan dengan kemunduran pendidikan yang ditandai kemunduran intelektual.[6] Dan pada masa itu pula perkembangan umat islam mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad pertengahan (tahun 1250-1800 M) yang pengaruhnya bahkan masih terasa sampai kini,[7]
Ketiga, Krisis konseptual, atau terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah/ religious sciences).[8]Sehingga hal ini berimplikasi bukan hanya pada tataran bidang keilmuan itu sendiri, tapi juga hal ini menyebabkan terjadinya gap pada bidang kelembagaan, yang selanjutnya juga akan menimbulkan krisis kelembagaan. Hilangnya budaya berfikir rasional seperti ini dikalangan umat islam, dalam sejarah islam kita tahu bahwa ada dua corak pemikiran yang selalu mempengaruhi cara berfikir umat islam yaitu pola pemikiran yang brsifat tradisional yang selalu mendasarkan diri pada wahyu yang kemudian berkembang menjadi pola pemikiran sufistik, yang memperhatikan aspek batiniah dan pola pemikiran yang rasional saja, kemudian pola pemikiran empiris rasional yang mementingkan akal pikiran.[9]
Keempat, Bila kita menoleh sejarah pendidikan Islam maka menurut Azyumardi Azra dalam Munir, dikotomi keilmuan bermula dari historical accident atau kecelakaan sejarah, yaitu ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqaha.[10] Sehingga terjadi kristalisasi anggapan bahwa ilmu agama tergolong fardlu ‘ain atau kewajiban individu, sedangkan ilmu umum termasuk fardlu kifayah atau kewajiban kolektif.[11] Akibat faktor ini, umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam saat ini tertinggal jauh dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi (IPTEK).
Kelima, krisis kelembagaan. Adanya dikotomisasi antara lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan pada salah satu aspek dari ilmu-ilmu yang ada, apakah ilmu-ilmu agama ataukah ilmu-ilmu umum.[12]  Hal ini dapat pula berimpilkasi mulai dari segi pendanaan pendidikan yang dibawah naungan Diknas dan Depag sangat jauh berbeda, sehingga hal ini pula dapat berimplikasi pada penunjang sarana dan prasarana.
Keenam, dikotomi dalam pendidikan islam timbul akibat dari faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya.[13] Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Epistemologi merupakan salah satu wilyah kajian filsafat yang di sebut juga dengan filsafat ilmu (philosophy of knowledge).[14] Seperti contoh ketika filsafat sebagai induk segala ilmu (mother all of sciences) mengalami pembidangan dalam struktur ilmu, mislakan ilmu pendidikan akan pecah menjadi cabang psikologi pendidikan, teknologi pendidikan, dst. Hal ini menyebabkan munculnya spesialisasi keilmuan.
Ketujuh, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan Negara yang berpenduduk mayoritas Islam.[15].

C.    Akibat Dikotomi Ilmu
Dampak dari dikotomi ilmu  sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang menjadi salah  satu yang  faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak  sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu  menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas.  sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri.[16] di sinilah terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum.
Realitas dikotomi ilmu tersebut juga terjadi pada instansi sekolah yaitu terjadinya pemisahan sekolah umum dan agama.[17] Dalam muatan kurikulum misalkan, Sekolah umum dominan ilmu yang diajarkan hanya ilmu umum (science) dan tidak digabungkan dan diarahkan pada nilai-nilai agama. Sehingga metode tersebut akan tergiring pada pola pikir yang sekuler dan berdampak pada degradasi moral, akhirnya memicu pada rusaknya generasi Islam, disebabkan pondasi ilmu agama yang lemah. Pada akhirnya, agama dianggap tidak penting dalam persoalan ilmu dan dunia.  Dari sinilah yang kemudian banyak umat Islam tergiring pada pemahaman sekuler. Karena dari sejak sekolah sampai perguruan tinggi, konsep ini terus dipraktekkan secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir ummat. Samsul Nizar menambhakan disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya.[18]
Selain itu, akibat (peng)dikotomian ilmu sangatlah terkait dengan masalah pendikotomian pendidikan (kelembagaan).[19] Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula yaitu berdiri di kutub yang berbeda.
Akibat lain dari dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, adalah Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam di mana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh fil al-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan agama ke dalam lembaga umum mengakibatkan terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya untuk mencapai tujuan sistem pendidikan.
Marwan Saridjo juga menambahkan Sumber masukan sekolah agama dan perguruan tinggi Agama Islam rata­-rata ber IQ rendah, maka mutu tamatannya adalah tergolong kelas dua.[20]hal ini menjadi sangat prihatin terhadap perkembangan dunia keislaman khususnya di Indonesia.

D.    Meretas Dikotomi Ilmu
Secara normative konseptual, dalam Islam tidak dijumpai dikotomi ilmu.[21]Jika kita menoleh pegangan Islam yakni Al-quran maupun Hadits kita tidak menemukan baik secara tersirat terlebih lagi tersurat menemukan dalil  menegenai dikotomi ilmu. Justru sebaliknya Islam mengajarkan untuk menuntut semua cabang ilmu. Allah berfirman: “ Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah [58]: 11).[22] Nabi Saw juga bersabda: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim (lelaki maupun perempuan). Ini mengindikasikan Islam sangatlah menjunjung tinggi keutamaan ilmu.
Kemudian dengan dikeluarkannya surat keputusan Menteri Pendidikan, Mentri Agama dan Mendagri tentang peningkatan mutu pendidikan madrasah juga menjadi usaha untuk menghilangkan dikotomi pendidikan di Indonesia walaupun secara kelembagaan berjalan terus.[23] Akan tetapi SKB tiga mentri ini tidak banyak mengatasi problem dikotomi yang hingga kini tetap menjadi-jadi.
Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak ada pemisahan yang sangat esensial antara “ilmu-ilmu agama” dan “ilmu-ilmu umum”. Hal ini dapat kita lihat misalnya banyak intelektual muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn sina, sampai Al-Ghazali, dan Mulla Shadra dalam berbagai disiplin ilmunya dan perspektif inteklektualnya masing-masing yang dikembangkan dalam kemajuan Islam memang mengandung hieraraki tertentu, tetapi pada akhirnya akan bermuara pada pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha Tunggal” yang merupakan subtansi dari segenap ilmu.[24] Hal ini pula terbukti dan menjadi alasan kenapa para pemikir dan ilmuwan muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non muslim kedalam ilmu pengetahuan Islam. Kita lihat misalnya salah seorang murid Imam Malik, asy-Syafi’I (150-204 H) menyusun satu metodologi hukum yang selain bisa mempertemukan kedua kubu.[25]Sehingga pertentangan kedua kubu, yang melahirkan ekspresi kebebasan berpikir bisa diredam. Dasar-dasar pemikiran Imam Syafi’i, yang oleh Fakhr ad-Din ar-Razi dibandingkan dengna posisi Aristoteles dalam biadang filsafat. Kalau Aristoteles berhasil merumuskan satu sistem filsfat dengan metodologi mantiqnya (logika), demikian asy-Syafi’i dianggap merumuskan cara-cara berpikir dalam agama dengan metodologi ushul fiqhnya seperti tertuang dalam karyanya, ar-Risalah[26]. Artinya ini menandakan dalam pembentukan dasar-dasar hukum Islam (ushul fiqh) sangat menyentuh tradisi filsafat.
Selain asy-Syafi’I kita kenal nama Al-Farabi, yang melalui karyanya Kitab Al-Ulum (Buku tentang Hierarki ilmu) memainkan pengaruh lebih luas.[27] Tokoh-tokoh lain yang mampu dalam mengintegrasikan ilmu adalah Ibn Sina, selain ahli dalaam bidang Kedokteran, Filsafat, Psikologi, dan music, beliau juga seorang ulama. Al-Khawarizimi adalah ulama yang ahli matematika, Al-Ghazali, walaupun belakangan popular karena kehidupan dan ajaran sufistiknya, sebenarnya beliau telah melalui berbagai bidang ilmu yang diketahuinya, mulai dari ilmu Fiqh, Kalam, Falsafah, hingga Tasawuf. Begitu pula Ibn Rusyd, seorang faqih yang mampu menghasilkan karyanya Bidayat Al-Mujtahid yang mampu mengsinergikan Filsafat dan ilmu Fiqh.[28] Ibn Khaldun dikenal sebagai ulama peletak dasar sosiologi modern dalam magnum opus-nya Al-Mukaddimah, yang samapai sekarang banyak ahli yang mengkajinya baik dari dari kalangan ummat Islam maupun para orientalisme.[29]
Syeh Naquib Al-Attas menawarkan gagasan konsep yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan problem tersebut yaitu dengan cara islamisasi ilmu, terutama ilmu pengetahuan kotemporer dan modern karena ilmu-ilmu kontemporer dan modern telah mengalami sekularisasi dengan peradaban Barat.  Metode pengkajian ilmu di Barat bergantung sepenuhnya kepada kaidah empiris, rasional dan materialistik. Perolehan ilmu melalui wahyu dan kitab suci diabaikan dan dipandang rendah. Ilmu-ilmu di Barat tidak berlandaskan nilai-nilai transenden dan juga tidak berkaitan dengan kepercayaan agama. Ini sangat berlawanan dari worldview Islam.[30]
Melihat dampak negative dari dikotomi ilmu maka menurut Andi Muhammad Idris dalam catatannya menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan dalam mengintegrasi ilmu:[31]
  1. Pemahaman atau paradigma masyarakat tentang pemisahan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences) dapat dipatahkan dengan cara bahwa pemisahan (pengdikotomian ini) hanyalah sebuah wujud “historical accidetn (kesalahan sejarah)” proses ideologisasi penyebaran keIslaman.[32]
  2. Mampu menghasilkan pendidikan yang mensinegrikan dua ilmu ini.
  3. Para ahli (praktisi) pendidikan mampu mencontohi atau setidaknya menjadikan pelajaran bahwa intelektual-intelektual muslim terdahulu sebut saja misalnya asy- Syafi’I yang mampu mensinegrikan ilmu ushul fiqh dan filsafat Aristoteles dan masih banyak pemikir-pemikir muslim lainnya yang menorehkan sejarah kebangkitan.
  4. Pada prinsipnya dikotomi keilmuan (pendidikan) dan akhirnya sampai pada tingkat kelembagaan, disebabkan ketiadaan pembedaan antara pendidikan Islam sebagai ilmu dengan Pendidikan Islam sebagi Lembaga Pendidikan. Ketidak jelasan ini terlihat dengan ketidakmampuan membedakan antara pendidikan Islam dengan pendidikan agama Islam. [33]
  5. UIN dalam hal ini universitas yang berlabelkan Islam, mampu menjwab tantangan zaman, yang selama ini mempunyai keinginan keras dalam menintegrasi dua keilmua ini.
Salah satu contoh kehadiran UIN Malang sebagai perguruan tinggi yang berada di bawah pembinaan Departemen agama. Menurut Prof. Imam Suprayogo UIN sejak awal ingin memposisikan diri di jajaran paling depan untuk mempelopori menjawab persoalan yang dirasakan oleh ummat Islam, sehubungan dengan itu langkah-langkah yang kami lakukan adalah membangun format bangunan keilmuan (body knowledge) yang bersifat inegratif yang tidak membedakan ilmu umum dan ilmu agama. Hal ini kami lakukan atas dasar pemahaman bahwa sesungguhnya al-Quran dan alhadist bukan sebagai petunjuk ritual dan spiritual belaka, melainkan memuat aspek-aspek kehidupan yang bersifat global.[34] Lebih lanjut untuk mengintegrasikan konsep tersebut Prof. Imam menambahkan dengan  membangun konsep baru  yaitu integrasi antara tradisi universitas dan ma’had Al-‘Aly atau pesantren tinggi. Selama ini perguruan tinggi dipercaya memiliki keunggulan untu membangun sosok manusia yang memiliki kekuatan intelektual dan kematangan professional, sedangkan institusi pendidikan ma’had al-‘Aly diyakini mampu membangun ssok manusia yang menyandang kedalaman spiritual dan keagungan akhlak.[35] Hal ini yang  sesuai dengan visi dan misi UIN MALIKI Malang.
Struktur keilmuan dikotomik yang seharusnya di rubah menurut Prof. Imam suprayogo adalah tidak memisahkan cabang ilmu agama dengan cabang ilmu hasil observasi, eksperimen dan penalaran logis.[36]  Sturktur bangunan keilmuan yang integrative adalah antara kajian yang bersumber dari ayat-ayat Qouliyah (Al-Quran-hadist) dan ayat-ayat kauniyah (hasil observasi, Eksperimen dan penalaran logis).[37]
Menurut Harun Nasution, Rektor IAIN Jakarta pada waktu itu, merespon intruksi Sekitar Masalah Pengembangan IAIN menjadi UIN (21 Maret 1996). Sehinggga, dalam lembaga pendidikan Islam tidak terjadi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. [38]
Oleh karena itu keikutsertaan Departemen Agama dalam menangani sekolah-sekolah agama sangat diperlukan. Sebab kalau tidak sekolah-sekolah akan berjalan dengan arahnya sendiri-sendiri. Dengan tugas dan fungsinya dibidang pendidikann, Departemen agama telah mengemban konsep konpergensi yaitu satu pihak memasukkan pelajaran umum dalam kurikulum sekolah agama.[39]

E.     Penutup
Problem dikotomi ilmu yang melanda pendidikan Indonesia dirasa menjadi akar perkembangan bidang keilmuan khususnya dalam ilmu agama, yang kurang memperhatikan ilmu terapan hasil observasi penelitian atau ilmu pengetahuan teknologi. Namun demikian adanya dikotomi ilmu juga mengancam system pendidikan di Indonesia yang berbasis ilmu sains, generasi yang berada pada naungan pendidikan ini akan banyak di jejali ilmu ilmu teknologi yang kering akan nilai-nilai agama sehingga menyebabkan degadrasi moral pada generasi bangsa. Sebagian penyebab utama timbulnya dikotomi ilmu antara lain serangan morol yang menghancurkan kota bagdad sehingga bnyak ilmuan yang terbunuh dan buku-buku hasil karya ilmuan islam saat itu di hancurkan, sehingga jejak ilmu yang terintegrasi terhapus oleh sejarah tersebut, kemudian kondisi pendidikan ketika Indonesia di jajah Belanda dengan mewariskan  system pendidikan yang membedakan antara pendidikan dari Belanda untuk anak-anak Belanda dan anak-anak kaum bangsawan dengan pendidikan pesantren bagi rakyat jelata. Dampak dikotomi ilmu yang terasa sampai saat ini perlu diretas diantaranya dengan lahirnya UIN yang berusaha mengintegrasikan ilmu umum dan agama menjadi satu bingkai keilmuan yang sesuai dengan kata ‘ilm dalam Al-Quran yang tidak membedakan cabang dan jenis ilmu.

F.     Daftar Rujukan
Arif,Mahmud.Pendidikan Islam Transformatif . 2008Cet. I: Yogyakarta:
LKIS
Assegaf,Abd. Rahman.Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif,
2005.cet.I:Yogyakarta:Pustaka pelajar,)
Azra,Azyurmardi.Paradigma Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan
Demokratisasi  2002 Cet. I: Jakarta: Buku Kompas
Baso,Ahmad.NU Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme
Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal . 2006Jakarta: Erlangga
Mulkhan,Abdul Munir.Religius Iptek. 1998. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Muliawan,Jasa Ungguh.Pendidikan Islam Integratif: Upaya
Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam
2005. Cet. I: Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Musthofa, A.  Filsafat islam. 2007.Bandung: CV.Pustaka Setia



[1] http://udhiexz.wordpress.com/tag/dikotomi-di-indonesia/ (Diakses pada tgl 26 September 2009)
[2] Azyurmardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: rekonstruksi dan Demokratisasi  2002 Cet. I: Jakarta: Buku Kompas, hal.  101.
[3] Reza A.A Wattimena. Filsafat dan Sains Sebuah Pengantar. 2008. Jakarta:Grasindo.hal.235
[4] Jasa Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali
dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam 2005. Cet. I: Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 206
[5] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: menelusuri Jejak Pendidikan Era Rasulullah SampaiIndonesia.2008 Jakarta: Kencana.hal. 230  
[6] Suwito, Sejarah Sosial pendidikan Islam.2005.Jakarta:kencana.hal.273
[7] Abd. Rahman Assegaf, Pengantar dalam buku Pendidikan Islam Integratif, 2005.
cet.I:Yogyakarta:Pustaka pelajar,) hal.31
[8] Azyurmardi Azra, op,cit,hal., h. 114
[9] Samsul Nizar., Op. cit., h. 233-234.
[10] Abdul Munir Mulkhan, Religius Iptek. 1998. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.hal.87
[11] Abdul Munir Mulkhan, op. cit.,  115
[12] Dualism system pendidikan agama yang diwakili oleh madrasah dan pesantren dengan
menambahkan pendidikan umum. Ibid., h. 116-117.
[13]Abd. Rahman Assegaf, Op,cit. hal. vii
[14]Ibid.hal. 68
[15] Ibid.hal. 69
[16] http://muhammad-nhur.blogspot.com/feeds/posts/default  (diakses tanggal 30 Sepeteber 2012)
[18] Samsul Nizar, op,cit.hal. 230
[19] Lembaga pendidikan di Indonesia ada yang berada di bawah naungan Depag dan Diknas.
Jasa ungguh Muliawan. Op, cit.hal. 20
[20] Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, 1999Cet. I; Jakarta: CV. Amisco, hal.3
[21] Abd. Rahman Assegaf. Op, cit.hal 12
[22] Al-Quran dan Terjemahnya, Kudus: Menara Kudus.hal
[23] Pada sekitar pertengahan decade tahun 1970-an, perhatian pemerintah mulai ditujukan padapembinaan madarsah secara lebih sistematis, misalnya, dengan lahirnya kurikulum 1973 dan SKB 3 Menteri pada 24 Maret 1975 yang mengaskan bahwa kedudukan madarasah sejajar dengan sekolah formal  dapat dilihat selengkapnya. Baca selengkapnya, Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif . 2008Cet. I: Yogyakarta: LKIS, hal. 205.
[24] A Musthofa, Filsafat islam. 2007.Bandung: CV.Pustaka Setia.hal244
[25] Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal . 2006Jakarta: Erlangga, h.135.
[26] A Musthofa. Op,cit , hal 234
[27] Ibid., hal.112.
[28] Ibid.hal.232
[29] Oleh Yuliyanto http://blog.unila.ac.id/young/tokoh-sosiologi/ibnu-khaldun. (diakses tanggal 30.10-2010)
[32] Sebagai contoh mengenai istilah “agama Islam” disini harus dipahami sebagai objek pembelajaran yang kita kenal dengan sebutan”ilmu”. Pendidikan agama Islam berarti proses belajar mengajar tentang “ilmu agama Islam”.Ilmu ialah seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (atau alam obejek) yang sam dan terkait secara logis. karena itu koherensi sistematik adalah hakikat ilmu. Sedangkan agama seperti telah disebutkan;–adalah “kepercayaan” dan “cara hidup”. Agama Islam menunjuk pada nama salah satu agama yang ada di dunia. Ilmu agama Islam dapat diartikan sebagai cabang ilmu yang mempelajari kepercayaan (imam/tauhid) dan cara hidup (yang mengandung unsure-unsur ideology, etika sosial. dan budaya) orang Islam. Oada akhirnya, kita dapat mendefenisikan penegertian pendidikan agama Islam (PAI) adaalh proses belajar-mengajar tentang kepercayaan dan cara hidup orang/ masyrakat Islam. Berdasarkan alasan tersebut, istilah “pendidikan agama Islam” lebih tepat dipahami sebagi salh satu objek studi atau cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan lembaga pendidikan. Baca Lselengkapnya mengenai hal ini Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam…., op. cit., hal. 227-228.

[33] istilah “pendidikan agama Islam” lebih tepat dipahami sebagi salah satu objek studi atau cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan lembaga pendidikan. Baca selengkapnya mengenai hal ini Ungguh Muliawan, Pendidikan Islam…., op. cit., h. 227-228.
[34] Sambutan prof. Imam Supryogo rektor UIN Malang dalam acara peresmian nama UIN Malang oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 27 Januari 2009
[35] Ibid,
[36] Dalam lampiran catatan laporan  peresmian Penggunaan Gedung UIN Malang oleh Rektor UIN Malang Prof. Imam Suprayogo, 27 Januari 2009. hal.19
[37] Penjelasan dari table struktur keilmuan oleh Prof. Imam Suprayogo
[38] http://rezaaceh.wordpress.com/comments/feed/ (di akses tanggal 28 September 2012)
[39] http://udhiexz.wordpress.com/tag/dikotomi-di-indonesia/ (di akses pada tgl 26-11-2009)

1 komentar: